Goresan Air Mata Mira
Karya : Dwi Riastuti
Malam sudah larut ketika kereta api jurusan Jakarta-Surabaya memasuki daerah Jogja. Hampir seluruh isi kereta tertidur dengan lelap. Hanya Mira yang masih tetap terjaga dengan menggendong anaknya yang baru berusia dua bulan. Sesekali air matanya mengalir dipipinya yang lembut. Dia masih menyesali apa yang telah menimpa dirinya. Laki-laki yang dia pilih ternyata tega meninggalkan dirinya dan Salwa, anaknya. Dia rela diusir orang tuanya demi Alex, suaminya. Mira terhitung masih muda, usianya baru 19 tahun. Pernikahan Mira dan Alex yang terhitung masih dini inilah yang menyebabkan sering terjadi percekcokan hingga terjadi pengkhianatan Alex padanya. Mira tidak berani kembali ke orang tuanya lagi dan kota Jogja adalah pilihannya. Mira menggantungkan harapan untuk mencari sesuap nasi untuk membesarkan Salwa, di kota gudeg ini. Dia ingin jauh dari kota asalnya, Bekasi. Dia tidak ingin orang lain tahu masa lalunya dan Salwa yang kelam. Dia ingin menulis cerita indah di kota ini. Laju kereta semakin melambat dan akhirnya berhenti di Stasiun Tugu. Hiruk pikuk penumpang membangunkan Salwa yang terlelap tidur. Salwa pun menagis. Mira berusaha menenagkannya sambil memberi asi. Terlihat kerepotan sekali si Mira, dia membawa barang-barang dan menggendong Salwa. Harapan untuk bahagia di kota ini menjadi kekuatan baginya untuk tetap tegar melangkah. Mira memegang erat tas yang berisi beberapa lembar pakaiannya dan pakaian anaknya serta ijazah SMA yang dia punya. “Becak-becak mBak, sepuluh ribu saja,” seorang tukang becak menawari Mira. Mira menolak karena dia belum tahu mau kemana dia singgah. Mira duduk di bangku stasiun untuk menghela nafas. “Ya Allaah, lindungilah hambaMu ini,” do’a Mira dalam hati sambil mengecup kening Salwa. Kemudian dia berjalan menuju mushola Stasiun untuk sholat isyak dan maghrib. Di baringkannya Salwa di teras Mushola yang dingin dengan beralaskan jaketnya. Mira pun mengambil air wudhu dan shalat di sebelah Salwa. Terlihat Mira berdzikir dengan khusuk dan dengan wajah yang begitu lelah. “Lebih baik aku menunggu sampai subuh saja,” kata Mira dalam hati kemudian meminum beberapa teguk minuman di botol. “Nasi bungkus jeng ,lumayan buat mengisi perut kosong, masih hangat lho ini jeng,” kata nenek-nenek menawarkan jajanan nasi bungkus. “Alkhamdulillah, minta satu nek,” kata Mira sambil memilih sebungkus nasi, “berapa nek?” tanya mira. “Tiga ribu saja,” jawab nenek itu. Mira merogoh saku baju dan di dapatkannya selembar uang sepuluh ribuan, “ini nek.” “Wah yang pas saja jeng, saya baru mulai berjualan,” jawab nenek sambil menunjukkan uang recehan seratusan rupiah dan katanya, “apa nambah tempe satu sama telur puyuhnya jeng, jengkan menyusui, telur baik untuk asi jeng.” “Boleh nek,” Mira segera mengambil tempedan sate telur puyuh. Dia segera menyantap nasi bungkus lauk oseng-oseng mie dengan lahap. Nenek itu masih duduk di sebelah Mira, “Jeng mau kemana? Kok kelihatannya sendirian, ini putranya ya?” tanya nenek itu yang ternyata telah memperhatikan Mira sejak dia sholat tadi. “Iya nek, ini putri saya,” jawab Mira sambil mengibaskan tangan kirinya untuk mengusir nyamuk di wajah Salwa. “Cantik sekali, ini putri ya jeng?” tanya nenek itu lagi. “Iya nek, Salwa namanya,” jawab Mira. “Jeng sendirian saja, apa belum dijemput?” tanya nenek. “Iya, kami berdua saja nek,” jawab mira sambil membersihkan tangannya di kran mushola. “Mau ketempat neneknya ya?” nenek itu masih meneruskan pertanyaannya. “Tidak nek, saya belum tahu mau kemana harus singgah di kota ini,” jawab mira. Dia pun menceritakan cerita hidupnya dengan nenek itu. Sang nenek pun mendengarkan ceritanya dengan penuh perhatian. Tidak terasa air mata nenek itu pun jatuh berguliran di pipinya yang sudah keriput. Tidak terasa adzan subuh berkumandang menggugah mereka berdua yang larut dalam suasana mengharukan. “Eh, maaf nek, saya malah ngajak nenek bercerita, jadi terganggu yang jualan,” kata mira sambil memegang tangan nenek yang keriput di sana sini. “Tidak apa-apa jeng, saya senang dapat berbagi cerita sama jeng siapa ya tadi sampai belum tanya namanya?” nenek itu mengelap tangannya dengan selendangnya dan kemudian mengulurkan tangannya,”saya mBok Ponikem, orang-orang di sini memanggil saya mBah Ikem,” terlihat mBah Ikem tersenyum dan beberapa giginya yang sudah ompong. “Saya Mira mBah, panggil saja Mira. terima kasih sudah menemani saya di sini, maaf mBah, saya mau shalat dulu,” kata Mira sambil meraih mukenanya yang belum dimasukkan ke dalam tas. “Iya nak, saya tungguin nak Salwa. Kita bergantian saja,” kata mBah Ikem sambil melepas selendang di lehernya. Mereka kemudian shalat shubuh bergantian. Mereka terlihat akrab sekali padahal baru beberapa saat kenal. Salwa terbangun saat kereta api tiba di stasiun itu. Tangis Salwa yang nyaring menyedot perhatian beberapa penumpang yang lewat. Sesaat melintas kecemasan di raut wajah Mira. Salwa di gendongnya dengan perasaan galau. “Nak, bagaimana untuk sementara waktu nak mira dan nak salwa singgah dulu di rumah nenek, nanti kalau sudah menemukan tempat, nak mira bisa pindah,” mBah Ikem mencoba menawarkan tumpangan untuk tinggal sementara waktu. Wajah Mira berubah berseri-seri mendengarnya. Mira kemudian merangkul tubuh nek ikem dan berkata, “terima kasih mBah.” “Iya nak, tapi mBah mau jualan dulu, nak Mira tunggu di sini saja,” jawab nek ikem sambil menggendong tenggok. “Biar saya saja mBah,” tawar mira seraya meminta tenggok mBah Ikem. “Tidak usah nak, nak mira kan belum terbiasa dan kasihan nak Salwa,” sanggah mBah Ikem. Nek Ikem bergegas menuju kerumunan penumpang yang baru saja turun dari kereta. Tubuhnya yang sudah renta di balut jarik dan kebaya yang sudah usang tidak dipedulikan demi mendapat rezeki yang halal. Pemandangan itu menambah semangat Mira untuk tetap berjuang demi membesarkan Salwa. Jam dinding stasiun sudah menunjukkan pukul 07.15 mBah Ikem telah usai menjual habis nasi bungkusnya. Wajahnya berseri-seri sambil menghitung uang yang diperolehnya hari ini. mBah Ikem kemudian menghampiri Mira yang asyik menimang-nimang Salwa. “Nak, mBah sudah selesai. Sekarang kita bisa pulang dan istirahat,” kata mBah Ikem seraya membereskan kain ules dan tampahnya. ”Alkhamdulillah mBah, saya ikut senang,” kata mira sambil ikut serta membereskan barang-barang mBah Ikem. “Iya Nak, biasanya sampai jam Sembilan, wah ini karena ada Nak Salwa,” kata mBah Ikem sambil mencubit pipi Salwa. “kita naik apa mBah?” Tanya Mira seraya menggendong Salwa. “Naik becak saja Nak. Kalau biasanya mBah jalan kaki, tapi kalau jalan kaki kasihan Nak Salwa,” jawab mBah Ikem. Kemudian mBah Ikem memanggil Pak Paino, tukang becak stasiun yang sekaligus tetangganya, “No, tulung No, anterke aku muleh!” panggil mBah pada Pak Paino. ”Tumben mBah naik becak, biasanya hanya jalan,” kata Pak Paino seranya mendorong becak mendekati mBah Ikem. “Iyo No, aku punya tamu,” jawab mBah Ikem sambil menggandeng Mira. “Tamu soko ngendi he mBah?” tanya Pak Paino. “Dari jauh, Nak Mira jenenge,” jawab mBah Ikem sambil duduk di kursi becak. Becak dikayuh oleh Pak Paino dengan santai. Sepanjang jalan banyak orang berlalu lalang. Ada yang mau berangkat bekerja ada yang mau sekolah atau pun kuliah. mBah Ikem tidak henti-hentinya memberitahu nama-nama daerah di sepanjang jalan. Angin berhembus sepoi-sepoi membelai wajah Mira yang lelah. Senyum manis menghiasi bibir Mira yang mulai mengering. Sesekali mereka tertawa bersama saat mBah Ikem menceritakan masa mudanya dulu. “No, ojo lali, mampir dulu di pasar lempuyangan yo, aku mau cari dagangan dulu,” kata mBah Ikem pada Pak Paino. “Nggih mBah,” jawab Pak Paino sambil menambah laju becaknya. Sesampainya di pasar lempuyangan mBah Ikem segera turun dan mencari barang daganganyya esok. Tidak membuthkan waktu lama untuk mencari barang dagangannya. Terlihat mBah Ikem keluar dari pintu pasar. Dia segera menghampiri becak Pak Paino dan becak pun dikayuh Pak Paino meluncur kearah kampung. Becak Pak Paino memasuki gang. Pak Paino terpaksa turun dan mendorong becaknya karena gang yang ramai dan banyak polisi tidur. Akhirnya becak itu berhenti di depan rumah kecil yang sudah usang. Terlihat dindingnya di tembel kertas karton di mana-mana. Gentingnya bersulam seng bekas kaleng roti. “Nah, ini gubuk mBah nak Salwa,” kata mBah Ikem seraya turun dari becak. “Alkhamdulillah, sudah sampai juga,” jawab Mira. “No, Iki No opahe,” kata mBah Ikem seraya menyodorkan selembar uang lima ribuan. “Suwun yo mBah. Namanya siapa mBah tamunya, kok dari tadi tidak di kenalkan?” tanya Pak Paino. “O Iyo, sampe lali aku No, namanya Nak Mira trus ini Nak Salwa, anaknya,” jawab mBah Ikem sambil merangkul pundak Mira. Mira tersenyum dan mengulurkan tangannya, “Saya Mira Pak.” “Saya Paino, tetangga mBah Ikem. Gubuk saya selisih dua rumah dari rumah mBah Ikem” jawabnya singkat sambil menjabat tangan dan menunjuk kearah rumahnya. Pak Paino kemudian membelokkan becaknya dan berlalu dari depan mBah Ikem dan Mira. mBah Ikem kemudian mengajak Mira masuk rumah. Pintu tua itu pun terbuka. Terdengar suara berderit karena sangking tua pintu itu. Mereka memasuki rumah, terlihat ruangan yang kecil dan sederhana tertata dengan rapi. Walau barang-barang di dalam ruamah itu terlihat usang tapi terlihat bersih dan rapi. “Nah ini tempat mBah untuk menghabiskan hari-hari yang panjang,” kata mBah Ikem sambil menurunkan tenggoknya. Dia segera membersihkan ranjang tua di sudut ruangan dengan sapu lidi kecil, “Nak Mira, anaknya di tidurkan disini dulu biar bisa istirahat.” “Iya mBah,” jawab Mira seraya membaringkan Salwa di atas ranjang. “Nak Mira bersih-bersih badan di kamar mandi sana, tapi maaf semua serba jelek,” mBah Ikem segera menunjukkan kamar mandi yang letaknya di belakang persis rumahnya. Atapnya terbuat dari seng yang usang dan telah bocor sana-sini. Tidak ada closed maupun bak mandi, hanya sebuah ember dan gayung yang sudah patah gagangnya. Jika mBah Ikem ingin buang air besar maka harus ke WC umum. Mira segera mengambil air dari kran satu-satunya yang berada di pojok belakang rumah. Seusai mandi Mira kemu dian memandikan Salwa yang sedari tadi bermain dengan mBah Ikem. Malam segera datang. Rumah mBah ikem hanya diterangi sebuah balon 5 watt di teras dan sebuah neon 10 watt di dalam rumah. Sungguh sederhana hidup mBah Ikem. Tidak ada TV ataupun radio hanya sebuah Al Quran yang sudah sudah tidak bersampul lagi diatas almari kecil. Jauh dari kemewahan tetapi hidupnya tenang dan damai dengan tetangga-tetangganya. Yang ada pada dirinya adalah bertahan hidup dengan rizki yang khalal. Malam telah larut. Salwa telah tidur. mBah Ikem masih sibuk di pojok ruangan untuk mempersiapkan dagangannya buat esok. Mira yang masih merasa lelah tidak berpangku tangan melihat kesibukan mBah Ikem. Dia pun ikut membantu sebisanya. Tidak terasa malam sudah sangat larut dan semua bahan sudah selesai dipersiapkan untuk dijual besok pagi kecuali nasi bungkus. Biasanya mBah Ikem mempersiapkan besok pagi saat ayam pertama kali berkokok yang nenandakan sekitar pukul tiga pagi. “Nak Mira tidur di tempat tidur ini saja ya yang ada kasurnya, mBah tidur di amben tempat shalat saja,” kata mBah Ikem sambil mengambil selembar jarik untuk selimut. “mBah tidur di sini saja, saya biar tidur di bawah mBah,” kata Mira. “Tidak usah Nak. mBah sudah terbiasa tidur di amben. Nak Mira tidur saja di sini dengan Nak Salwa. Kasihan Nak Salwa nanti kalau terbangun tidak ada ibunya di sampingnya,” kata mBah Ikem. Akhirnya Mira tertidur karena rasa lelah yang mendera di badannya. Dia pun tidak terbangun saat mBah Ikem mempersiapkan nasi bungkus. Setelah selesai mempersiapkan dagangannya, mBah Ikem membangunkan Mira untuk berpamitan ke Stasiun. “Nak, Nak Mira,” suara mBah Ikem terdengar lirih, takut kalau Salwa terbangun. Terlihat Mira mulai bangun, “Eh mBah, sudah mau berangkat mBah?” kata Mira sambil mengucek matanya. “Iya Nak. mBah mau berangkat dulu. Nanti Nak Mira di rumah dulu. Nanti sarapnnya sudah siap di meja sana,” kata mBah Ikem sambil mengalungkan kain selendang untuk menggendong tenggok. “Iya mBah, terima kasih,” jawab Mira sambil membantu mengangkat barang dagangan mBah Ikem. Pagi segera dating. Mira dan Salwa terlihat sedang asyik bermain dengan tetangga-tetangga sebelah. Terlihat akarab sekali mereka. Tidak ada rasa curiga pada diri tetangga mBah Ikem. Mereka menyambut gembira kedatangan Mira dan Salwa. Yang ada pada diri mereka hanyalah saling menyayangi dan mengasihi. Mira pun merasa nyaman tinggal di kampong yang jauh dari kata mewah ini. Sudah tiga hari Mira berada di rumah mBah Ikem. Mira mulai mencari kost-kostan. Akan tetapi selau saja di tolak karena dia punya anak. Mereka menyangka, dirinya bukan perempuan baik-baik. Tetapi Mira tidak menyerah begitu saja. Dia pun mencoba mencari pekerjaan di sana-sini dengan bemodalkan ijazah SMA. Hingga hari ke enam dia di Jogja belum juga mendapatkan kost dan pekerjaan. Setiap dia melamar pekerjaan pasti di tanya ijazah apa, bisa komputer atau tidak. Sering kali orang-orang yang dia temui baik pemilik usaha ataupun karyawan berkata, ”Jaman sekarang ijazah SMA ngak laku mbak, paling-paling jadi tukang cuci atau jadi pembantu.” Atau jawaban lain dari mereka, ”Jaman sekarang komputer tidak bisa, mau makan apa mBak?” Jawaban-jawaban itu begitu menyakitkan hatinya. Muncul penyesalan pada diri Mira karena tidak menuruti nasihat orang tuanya agar sekolah D3 atau S1. Dia malah memilih menikah dengan Alex yang saat itu begitu dia percaya akan dapat membahagiakan dirinya. Kini hanya penyesalan yang ada. Pernah terbersit dalam pikirannya untuk masuk ke dua hitam, menjadi kupu-kupu malam. Profesi ini hanya butuh cantik saja tidak menuntut ijazah atau keterampilan komputer. Akan tetapi hati kecilnya menolak. Itu bukan pekerjaan yang baik. Mira ingin menghidupi Salwa dengan hasil keringat yang halal. Hari-hari yang sulit Mira lewati dengan tabah. Salwa lah yang membuat hatinya tetap tegar untuk berjuang mencari kehidupan. Hari sudah sore, mBah Ikem sudah pulang dari jualan. Terlihat Mira sedang menimang Salwa yang menangis sedari tadi pagi. ”Nak Salwa kenapa nak Mira?” tanya mBah Ikem sambil bergegas menurunkan tenggoknya dan menghampiri Mira yang terlihat panik. ”Salwa panas mBah,” jawab Mira. ”Sudah dikompres?” tanya mBah Ikem seraya memegang kening salwa. ”Sudah mBah,” jawab Mira. ”Di periksakan saja Nak,” mBah Ikem memberi solusi. Sesaat Mira terdiam. mBah Ikem menangkap sebersit kegelisahan di wajah Mira. Kemudian air mata Mira mulai berjatuhan. ”Maafkan ibu ya nak. Ibu tidak bisa memberi yang terbaik untukmu,” kata mira sambil memeluk erat Salwa yang masih menangis. mBah Ikem yang melihat pun ikut terharu dan menitikkan air mata dan berkata, ”Nak, pakai uang mBah dulu. Tidak usah sungkan, yang penting Nak Salwa dapat diobati dulu. Mira terlihat ragu menerima uang dari mBah Ikem. ”Sudahlah nak, pakai saja!” mBah Ikem kembali menyodorkan uang dan menggenggamkan di tangan Mira. ”Makasih ya mBah. Saya tidak bisa membayangkan jika tidak ada mBah Ikem,” kata mira seraya memeluk tubuh renta itu.. Mira segera bergegas mengambil selendang untuk menggendong Salwa. Sesampai di depan rumah hujan mulai turun. Mira kembali masuk dan mengambil payung usang milik mBah Ikem. Kaki Mira menyusuri jalanan yang mulai tergenang air. Hujan turun dengan deras. Roknya mulai basah tetapi Mira tidak menghiraukannya. Sesekali dia harus berlindung dipinggir toko karena begitu kencang terpaan angin hingga mengenai wajah Salwa. Hati Mira semakin menjerit ketika Salwa semakin keras tangisannya. Perasaan menyesal dan bersalah semakin menyeruak. Badannya gemetar karena dihantui ketakutan yang luar biasa jika terjadi sesuatu pada Salwa. ”Ayah, Ibu, maafkan aku. Aku tidak menuruti kata-katamu. Kini aku harus menanggung semuanya sendiri dan anakku yang tidak berdosa pun ikut menanggungnya. Ya Allah, ampuni hambamu yang khilaf ini. Berilah kekuatan pada hamba. Berilah jalan hidup yang terbaik menurutMu ya Allah,” rintih dan harap Mira lirih sambil memeluk tubuh Salwa. Beberapa kali taxi melintas dan menawari jasanya. Tetapi Mira tidak berani naik karena dia takut uangnya tidak cukup untuk membayar obat. Kakinya terus menyusuri jalanan di bawah guyuran hujan yang masih menumpahkan airnya dengan derasnya. Salwa kembali menangis dengan kerasnya, Mira semakin panik. Dia putuskan untuk memberi asi agar Salwa menjadi tenang. Sesaat dia mencari tempat berteduh. Matanya tertuju pada rumah yang gerbangnya terbuka. Maklum, rumah di kota hampir semua tertutup rapat pintu gerbangnya. Kakinya melangkah memasuki halaman rumah mewah itu. ”Assalamu’alaikum, permisi pak, bu. Saya numpang berteduh,”teriak Mira mohon ijin yang empunya rumah. Tidak ada Jawaban dari dalam rumah. Dia pun memberanikan diri untuk masuk ke teras rumah karena tangisan Salwa semakin keras. Mira segera memberi asi pada Salwa. Beberapa Salwa tidak mau tetapi dengan penuh kesabaran Mira, akhirnya Salwa mau menyusu. Salwa menyusu dengan lahapnya. Tiba-tiba pintu rumah terbuka dan Mira kaget dan segera berdiri dari duduk. Keluar sesosok ibu-i bu setengah baya. Hati Mira makin ciut karena ketakutan. Salwa pun menangis lagi. ”Maaf Bu, eh Nyonya, saya ikut singgah sebentar di sini. Maaf sekali jika saya mengganggu,” Mira memohon. Ibu-ibu itu segera menghampiri Mira yang ketakutan dengan wajah yang begitu lembut. ”Iya nak. Tidak apa-apa. Kamu tidak mengganggu kok. Saya Bu Wulan. Silahkan anaknya disusui di dalam saja! Di luar angin sangat kencang!” Bu Wulan mencoba menawari jasa. Pudar sudah ketakutan yang ada pada diri Mira. Kepribadian Bu Wulan yang begitu lembut membuat hatinya menjadi tenang. ”Ayo, masuk saja, angin semakin kencang nak, kasihan anaknya!” Bu Wulan kembali menawari seraya meraih pundak Mira yang masih penuh keraguan. ”I…iya bu. Terima kasih. Saya Mira BuTetapi pakaian saya basah nanti malah mengotori rumah ibu,” jawab Mira ragu. ”Ya Allah. Bajumu basah, ayo masuk dulu. Biar nanti ibu pinjami baju!” Bu Wulan kembali menawari dengan penuh ketulusan tanpa ada rasa curiga sama sekali. Mira pun segera mengikuti langkah Bu Wulan. Dia berdecak kagum saat memasuki ruangan yang begitu besar dan mewah. Udara terasa hangat dan tenang setenang wajah Bu Wulan. ”Sebentar ya nak, ibu ambilkan baju dulu, nanti malah masuk angin,” kata Bu Wulan seraya berjalan kearah pintu di ujung ruangan. Sesaat Mira tertegun sambil membenahi gendongannya. ”Rumah sebesar ini kok sepi sekali?” gumam Mira. Sesaat kemudian Bu Wulan keluar ruangan sambil membawa selembar baju dan segera menyodorkan pada Mira. ”Nak ini baju untuk ganti. Kamu ganti saja di kamar itu biar anakmu ibu gendong!” kata Bu Wulan sambil menunjuk ruangan yang di masukinya tadi. Bu Wulan segera meraih Salwa dari gendongan Mira. Mira segera memasuki ruangan yang ditunjuk oleh Bu Wulan. Sesampainya di dalam dia semakin tertegun akan kemewahan ruangan itu. Sebuah kamar tidur yang mewah dan dengan dihiasi beberapa foto didnding dan foto meja. Sesaat matanya tertuju pada sebuah foto pengantin di meja. “O, ini pasti anak Bu Wulan,” kata mira dalam hati. Sesaat kemudian Mira segera keluar dari kamar dan menghampiri Bu Wulan yang sedang mencoba menenagkan Salwa yang menangis lagi. ”Nak, anakmu panas begini kok diajak keluar?” tanya Bu Wulan keheranan. Mira segera menceritakan kisahnya hingga dia dia terjebak hujan untuk mencari dokter untuk memeriksakan Salwa. ”Masyaallah. Kebetulan suami saya dokter anak. Nanti biar diperiksa sama suami saya saja, tidak usah kemana-mana!” kata Bu Wulan yang memberi kelegaan pada Mira. Sesaat kemudian keluar ibu-ibu muda membawa dua cangkir teh. ”Ini bik Nah. Dia yang membantu dan menemani saya di sini,” jelas Bu Wulan. ”Ayo di minum dulu nak Mira supaya hangat badannya!” tambah Bu Wulan. ”Terima kasih bu,” jawab Mira sambil meraih secangkir teh hangat dan meminumnya. ”Ibu tinggal sendirian sama bapak dan bik Nah?” Mira mulai pembicaraan. “Tidak nak. Ada cucu ibu lagi tidur. Dia baru berumur satu bulan,” jawab Bu Wulan. ”Oh, hampir sama seperti Salwa, anak saya ini bu,” jawab Mira. ”Jadi sama anak ibu juga ya?” tambah Mira penasaran. Sesaat wajah Bu Wulan berubah sedih. Mira jadi merasa bersalah past ada sesuatu sedang terjadi dirumah ini. Beberapa saat suasana menjadi hening. Kemudian Bu Wulan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Seminggu yang lalu tepatnya, putri satu-satunya dan menantunya menjadi korban kecelakaan pesawat. Saat itu mereka akan menjenguk misan (mertua putrinya) yang sedang sakit di Jakarta tetapi kecelakaan telah memisahkan keluarga Bu Wulan dengan putrinya yang meninggalkan anak yang masih bayi. Kini Bu Wulan merawat sendiri cucu satu-satunya sebagai pengganti putrinya yang telah dipanggil olehNya. Mira yang mendengarkan cerita Bu Wulan ikut hanyut penuh keharuan. Air mata keduanya mulai berjatuhan. Mira kembali memeluk dan mencium kening Salwa dan berkata dalam hati, ”Alkhamdulillah nak, kamu masih beruntung masih punya ibu nak.” ”Maaf bu. Bukan maksud saya untuk membuka duka keluarga ibu,” sesal Mira. ”Tidak apa-apa nak. Sudah jadi tadir kelarga kami dan Damar cucu ibu,” jawab Bu Wulan sambil mengelus-elus Salwa. Di tengah-tengah percakapan mereka terdengar suara mobil masuk pekarangan ruamah. Ternyata Pak Candra, suami Bu Wulan sudah datang. Bu Wulan segera bergegas menyambut kedatangan suaminya. Sesampainya di dalam Bu Wulan segera menceritakan tentang Mira dan Salwa. ”Kami senang bisa bertemu dengan nak Mira,” kata Pak Candra dengan penuh ketenangan dan bijaksana. Pak Candara segera memeriksa keadaan Salwa. Keningnya sedikit mengkerut seolah-olah ada sesuatu yang sedang terjadi pada Salwa. Mira mulai gelisah. ”Bagaimana keadaan Salwa pak?” Mira penasaran. ”Oh, tenang nak. Salwa kena ispa karena sering kena udara kotor. Nanti bapak beri obat dan asinya terus kamu berikan agar panasnya bisa turun,” Pak Candra memberi penjelasan. Mira sudah sedikit lega sekarang, paling tidak dia sudah tahu penyakit anaknya. ”Ini obatnya nak. Semoga cepat sembuh,” kata Pak Candra sambil menyodorkan bungkusan obat pada Mira. ”Terima kasih pak, terus ongkosnya berapa pak?” tanya Mira sambil membuka dompetnya yang tipis. ”Oh, tidak usah nak. Ini pertolongan Allah lewat saya,” tolak Pak Candra. ”Tapi pak?” tanya Mira ragu. ”Sudahlah nak. Ini adalah rejekimu dan kami ada tawaran pekerjaan sama nak Mira,” kata Bu Wulan sambil menggendong bayi mungil yang ternya adalah Damar, cucunya. ”Begini nak. Karena Damar masih memerlukan asi eksklusif, kami mohon nak Mira mau membagi asi untuk Damar. Sebagai imbalannya kami ingin nak Mira dan Salwa bersedia tinggal disini . dan sebagai bagian keluarga kami” kata Bu Wulan dengan nada memohon. ”Iya nak. Kami sudah cocok pada nak Mira walau baru sesaat kita bertemu. Ini adalah jawaban Allah atas doa-doa kami untuk Damar. Nanti nak Mira bisa kuliah setelah cukup pemberian asi pada Salwa dan Damar. Semua biaya kami yang tanggung nak,” Pak Candra menambahkan agar Mira yakin atas tawaran mereka. Sesaat Mira berfikir dan terbersit keraguan. Tetapi mengingat keadaannya yang sekarang dia kembali mempertimbangkan tawaran keluarga ini. Inilah jawaban atas semua kesabarannya dan ketaatannya pada Allah. ”Iya pak, bu, saya bersedia menerima tawaran bapak dan ibu,” jawab Mira dengan nada gemetar karena haru. Bu Wulan yang mendengar jawaban Mira segera memeluknya dan menciumi pipi Mira yang dingin. Pak Candra juga ikut merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh istrinya. Dia pun merangkul dua wanita tegar itu. Hapus sudah semua duka lara pada tiga makhluk Allah yang selalu berserah diri hanya padaNya ini. Mira serasa lahir kembali. Lahir sebagai makhluk Tuhan yang dipenuhi kebahagiaan. Terasa dia ingin segera pulang ke rumah mBah Ikem untuk mengabari kabar gembira ini. Wajahnya kembali berseri-seri dan dihiasi dengan senyuman. Salwa juga seolah-olah bisa merasakan kebahagiaan yang mereka peroleh hari ini. Damar juga turut merasakan kebahagiaan keluarganya. Senyum kecil menghiasi wajah bayi-bayi mungil itu. Dahulu mereka bukan keluarga dan sekarang menjadi kelaurga karena asi Mira yang akan membesarkan mereka nanti.
sumber: http://adrias03.wordpress.com/2012/09/27/goresan-air-mata-mira/