Aku ingin menghitung rembulan
Karya : Dwi Riastuti
Hampir tiga tahun gempa Jogja telah berlalu. Tepatnya 1000 hari yang lalu bencana gempa itu terjadi. Banyak nyawa melayang serta rumah yang rusak ringan hingga rata dengan tanah. Kejadian di pagi itu tidak akan begitu saja terlupakan oleh Pak Karto dan Rangga, cucunya yang sekarang telah berusia 8 tahun. Pak Karto harus mengasuh cucu satu-satunya seorang diri karena bapaknya Rangga merantau ke Jakarta, sedangkan semua keluarganya telah tiada, menjadi korban gempa 2006 termasuk emak dan adik Rangga. Malam ini ada yang beda pada Rangga dari malam-malam sebelumnya. Dia masih asyik mengaji bersama kawan-kawannya di surau pinggir dusun. Pak Karto bernafas agak lega malam ini karena Rangga tidak mengajaknya melihat rembulan. Hampir 999 malam Pak Karto dan Rangga selalu melihat rembulan. Yang menjadikan dada Pak Karto sesak adalah setiap Rangga berkhayal tentang Emak dan adiknya yang sedang asyik naik rembulan untuk menuju ke surga. “Tidak bisaanya Rangga tidak pulang sehabis maghrib begini?” gumam Pak Karto sambil melihat kearah ujung gang. Terlihat beberapa kali ia mondar-mandir di teras rumahnya. Dia pun masuk rumahnya yang tinggal 1/6 dari luas rumahnya dahulu. Sesaat langkahnya terhenti saat di depan almari yang kacanya retak dan di dalamnya terdapat tropi juara satu menggambar milik Rangga. Terbayang lagi peristiwa memilukan itu. “Nek, aku mau ke masjid dulu sholat jum’at dulu,” kata Pak Karto pada istrinya, Bu Karto. “Iya Kek, Rangga diajak sekalian, soalnya bapaknya sholat di kota karena harus mengantar barang pesanan dari juragannya,” jawab Bu Karto. “Lha Rangga mana?” tanya Pak Karto seraya mesuk lagi kedalam rumah. Sesampainya di ruang tengah, terlihat Rangga sedang asyik bermain dengan Reva, adiknya yang besok baru berusia satu tahun. Rangga asyik mengejar Reva yang baru bisa merangkak. Sesekali mereka berebut mainan dan terdengar tangisan Reva. Marni terkadang harus melerai keduanya, maklum, Rangga masih kecil, usianya baru lima tahun. “Rangga, ayo ikut kakek sholat jumat!” ajak Pak Karto. “Aku mau bareng bapak kek,” jawab Rangga dan masih meneruskan mainnya. “Bapak pulangya sore nak, bapak sholat di kota,” kata Marni seraya mencarikan baju koko Rangga. “Sekarang sama kakek saja ya. Nanti kalau sesudah sholat, kamu boleh main lagi kata Pak Karto. “Sini nak, emak ganti bajumu!” kata Marni sambil mengganti baju Rangga. “Wah, cucu kakek sudah besar ternyata,” kata Pak Karto sambil mengenakan pecis Rangga. “Iya dong Kek, kan sudah TK nol kecil, dah berapa umurku Mak?” tanya Rangga kepada emaknya. Marni mengangkat jari tangan kanannya dan berkata “Coba Rangga hitung berapa ini?” “satu, dua, tiga, empat, lima…,” Rangga menghitung dengan senang hati. Dan bertanya lagi “Kalau adek mak?” “Segini,” kata Marni sambil menunjuk jari teluntuknya. “Satu, baru satu umurnya dek Reva Mak?” Rangga meminta penjelasan lagi. “Iya, adek besok baru berumur satu tahun,” kata Marni sambil mencium pipi Rangga. “Ye… ye, banyakan aku,” Rangga kegirangan. “Dah, ayo kita berangkat, keburu terlambat nanti,” ajak Pak Karto sambil menggandeng tangan Rangga yang mungil. “Assalamu’alaikum,” Pak Karto dan Rangga mengucap salam bersamaan. “Wa’alaikumsalam,” jawab Bu Karto dan Marni yang sambil menggendong Reva. Terlihat Reva melambaikan tangan kearah Kakek dan Kakaknya yang berlalu dengan mengayuh sepeda. Di masjid terlihat jama’ah masih banyak yang berdatangan. Pak Karto dan Rangga duduk di shaff tengah. Terdengat adzan dikumandangkan. Suasana menjadi khusuk hingga dilanjutkan dengan khotbah oleh khatib. Rangga juga ikut khusuk mendengarkan khutbah jumat walaupun dia belum paham apa yang disampaikan oleh sang khotib. Seusai shalat juma’at jama’ah pun juga berhamburan pulang atau kembali ke tempat kerjanya masing-masing. “Rangga tidak main dulu sama teman-teman?” tanya Pak Karto. “Tidak kek, aku ingin pulang, mau maen sama adek,” jawab Rangga sambil membenahi sandalnya. Mereka berdua pun pulang dengan sepeda tua Pak Karto. Sesekali mereka tertawa bersama. Sampai dirumah, Rangga langsung berlari ke dalam rumah. “Ade…k,” teriak Rangga. “Ssst…!” Marni memberi isyarat dengan menutup mulutnya dengan jari telunjuk. “Dek Reva baru mo bobok, sayang!” kata Marni yang baru menggendong Reva yang tidur. “Mak, aku pengen tidur sama adek,” rengek Rangga. “Boleh, tapi tidak boleh mengganggu adek ya!” kata Marni sambil menuju kamar tidur. “Aku di sebelah adek ya mak,” pinta Rangga sambil merangkak mendekati adeknya yang sudah dibaringkan di tempat tidur. Marni menjawab hanya dengan menganggukkan kepalanya. “Mak, aku minta di kelonin,” Rangga masih merengek. Marni pun pindah tempat kesisi sebelah Rangga. Kepala Rangga pun dibelai olehnya agar segera tidur. “Emak sayang nggak sama aku?” tanya Rangga. “Ya sayang dong” jawab Marni sambil mencium kening Rangga. “Em…, sama dek Reva?” tanya Rangga lagi. “Ya sayang juga,” jawab Marni, “Sama bapak, kakek dan nenek juga sayang?” Rangga masih meneruskan pertanyaannya. “Iya dong, Emak saya…ng semuanya. Kalau Rangga sayang sama emak tidak?” tanya Marni. “Heem, aku sayang Emak, adek, bapak, kakek dan nenek,” jawab Rangga sambil merentangkan kedua tangannya dan membelai pipi Marni. Hati Marni begitu tersentuh. Pertanyaan itu sering dilontarkan oleh Rangga padanya akhir-akhir ini. Tetapi dia senang, anaknya begitu terbuka padanya. ”Ya Allah, berikanlah aku umur yang panjang, agar aku dapat mendidik anak-anakku menjadi anak yang sholeh ya Allah,” do’a Marni dalam hati. Tidak terasa air mata berkaca-kaca karena haru. “Mak, Allah tahu tidak kalau aku sayang semua?” tanya Rangga. “Ya tahu, karena Allah maha tahu,” jawab Marni. “Mak, kata guru ngaji, kalau orang sholeh akan di kumpulkan di surge ya mak?” tanya rangga. “Iya, surga adalah balasan bagi orang-orang yang sholeh, makanya Rangga harus jadi anak yang sholeh, taat pada bapak, emak, kakek, nenen, guru dan terutama taat pada Allah,” Marni menjelaskan. Rangga terlihat mengangguk-angguk dan kemudian bertanya lagi “Kita nanti berkumpul di surga bersama-sama ya mak?” “Insyaallaah, makanya Rangga harus ingat kata-kata emak tadi!” jelas Marni. “Iya mak, biar kita sama-sama masuk surga?” tanya Rangga. “Amin,” jawab Marni. Sesaat tidak lagi terdengar suara Rangga. Ternyata dia sudah tidur. Marni kembali mengecup kening Rangga dan Reva, seolah-olah tidak ingin berpisah. “Anak-anak sudah tidur Mar?” tanya Pak Karto yang masih duduk di ruang makan bersama Bu Karto. “Sudah Pak,” jawab Marni sambil merapikan jilbabnya. “Tidak bisaanya Rangga tidur di kamar sama adeknya. Bisaanya dia memilih tidur di depan TV,” Bu Karto nampak keheranan. Marni hanya tersenyum sambil menggeser kursi, “Iya Bu, bahkan akhir-akhir ini dia sering bertanya tentang perasaan sayang.” “Namanya anak kecil. Mungkin di sekolahnya diajari tentang bahasa kasih sayang,” kata Pak Karto. Mereka kemudian makan siang bersama. Terasa nikmat sekali sayur asem sama ikan asin dan sambel terasi. Pak Karto terlihat menambah makannya. “Mar, besok Reva kan sudah satu tahun, mbok dibuatkan nasi kuning sama bancaan (Syukuran) walau hanya sederhana untuk teman-teman main Rangga,” Bu Karto kembali mengingatkan ulang tahun Reva yang pertama besok, sabtu 26 Mei. “Iya Bu, nanti saya mau mencari bahannya ke warung lek Narti,” jawab Marni. Pagi ini, adzan subuh berkumandang. Ada yang beda di dapur pagi ini. Dapur terlihat sibuk. Bisa, Marni dan Bu Karto sibuk mempersiapkan nasi kuning buat ulang tahun Reva nanti. Tono, suami Marni hendak mengambil wudhu dan bertanya, “Masak apa dek?” “Nasi kuning sama urap mas,” jawab Marni. “Ayo sholat dulu, nanti dilanjutkan!” ajak Tono pada istrinya. Dari ufuk timur matahari sudah mulai memancarkan cahayanya. Dapur makin ramai di tambah suara Rangga yang sibuk tanya ini dan itu. Rangga pagi-pagi harus bangun karena harus sekolah. Bapaknya terlihat sibuk mempersiapkan mandi buatnya. Jam dinding menunjuk pukul 05.59 dan tiba-tiba bumi bergetar dahsyat hingga air di atas kompor terguling. “lindu… lindu…lindu…” terdengar orang-oarang mulai panik. “Ya Allaah, astaghfirullaah, Reva dek!” teriak Tono segera menggendong Rangga. Marni segera berlari ke kamar tidur. Pak Karto dan Tono yang menggendong Rangga berlari kearah luar rumah. Baru langkah Tono sampai dihalaman rumah terdengar suara “Pletak-pletak, bru…k”. Tono menghentikan langkahnya dan menengok kearah belakang dan berteriak “Astaghfirullah, Ibu…, dek Marni…, Reva…,” jerit Tono, sambil menurunkan Rangga dari gendongannya. Seketika itu, rumah yang begitu besar rata degan tanah. Rumah-rumah di kampung itu hambir semua rata dengan tanah karena digonjang gempa bumi yang berkekuatan 6,8 SR. Warga yang selamat segera mencari keluarganya yang tertimpa bangunan rumah, tidak terkecuali Tono dan Pak Karto. Mereka tidak menghiraukan pecahan kaca dan serpihan kayu dan paku yang menggores badannya. Mereka menyingkirkan material rereuntuhan dengan tangan kosong. Hanya harapan keluarganya terselamatakan yang memberi tenaga. pada mereka Suara tangisan anak-anak mulai terdengar, begitu pula rintihan orang kesakitan. Tangisan pun pecah di sana-sini saat menemukan anggota keluarganya tidak tertolong lagi nyawanya. Suasana semakin memilukan saat satu persatu jasat di baringkan dihalaman rumah masing-masing. Tono terkulai lemas ketika dia menemuka Marni dan Reva sudah tak bernyawa lagi. Jasat mereka ditemukan di balik reruntuhan tembok kamar. Posisi Marni ter telungkup memeluh Reva. Tono segera memeluk jasat keduanya yang masih berlumuran darah segar. Sedangkan Bu Karto ditemukan juga sudah tak bernyawa di ruang dapur. Dengan tenaga yang masih tersisa Tono mengangkat satu-persatu jasat orang-orang yang dia cintai. Jasat-jasat itu pun segera di rawat dan kumpulkan di masjid, karena hanya masjid yang masih berdiri kokoh. Hari mulai sore, suara sirine berdengung tidak henti-hentinya membawa korban ke rumah sakit. Ada yang bisa terselamatkan ada pula yang tidak terselamatkaan. Karena hari sudah semkin petang, para warga sepakat untuk menguburkan jenazah besok pagi. Malam semakin memilukan karena listrik padam dan disertai hujan yang deras. “Pak, Emak dan adek kenapa pak? Mengapa mereka tidurnya diselimuti kain putih? ” tanya Rangga pada bapaknya. “Emak, adek dan nenek mau ke surga nak,” jawab Tono singkat karena tidak kuasa menahan kepiluannya. “Aku ingin ikut emak kesurga pak. Aku tidak mau ditinggal,” Rangga mulai menangis karena tidak diajak sama emaknya. “kita suatu saat nanti nyusul emakmu,” jawab Pak Karto menenagkan. Rangga masih saja menangis sambil meronta-ronta berusaha meraih jasat emaknya. Tono dengan dibantu beberapa ibu-ibu mencoba menenangkan Rangga. Rangga masih saja meronta dan berteriak, “emak bohong, katanya akan kesurga bersama-sama, tapi malah meninggalkan aku.” “Nak, emak, adek dan nenek sudah dipilih sama Allaah untuk lebih dulu kesurga. Kita nanti juga akan kesurga jiga sudah di perintah sama Allaah,” Tono masih berusaha menenangkan Rangga. Lama kelamaan tangis Rangga pun reda dan akhirnya tertidur di pangkuan bapaknya karena kelelahan. Suara orang-orang menyenandungkan Al Qur’an masih terdengar hingga larut malam. Hujan mulai reda, kampung itu seperti hutan belantara. Warga tidur di tenda-tenda darurat yang telah di datangkan dari TNI, PMI maupun POLRI dengan penerangan seadanya. Sesekali terdegar anak-anak kecil menangis mencari ibuya yang telah tiada. Waraga saling bahu-menbahu menenangkan anak-anak kecil tak berdosa itu. Pagi itu, suasana pemakaman begitu khitmat dengan dibantu warga dari luar. Semua terlihat lelah dan letih. Satu sama lain saling menguatkan batin mereka. Terlihat pula Rangga khusuk duduk di antara gundukan tanah merah itu. “Kek, surga itu dimana kek?” tanya Rangga kepada kakeknya yang masih khusuk memanjatkan doa. Sesaat kemudian kakeknya menjawab, “Di atas sana,” jawab Pak Karto setengh berbisik sambil menunjuk langit. Rangga mendongakkan kepalanya keatas. Dia melihat bulan sabit yang masih terlihat di langit dan bertanya, “Naik apa emak dan adek kesana?” Pak Karto masih terdiam untuk mencari jawaban yang tepat dan dia menjawab, “naik rembulan itu,” jawab pak Karto menunjuk langit. Sesaat Rangga mengangguk-angguk. Dia pun segera duduk di pangkuan bapaknya. “Pak, apa aku bisa lihat emak dan adek lagi pak?” tanya Rangga. “Bisa, kita bisa melihat mereka jika kita melihat rembulan,” jawab Tono yang menahan sesak di dadanya. Acara pemakaman pun usai. Satu persatu mulai meninggalkan pemakaman itu dan akhirnya pun suasana kembali sepi. Warga mulai mencoba menyelamatakan barang-barang yang masih bisa dipakai. Anak-anak masih saja asyik bermain dan seolah-olah tak terjadi apa-apa. Pak Karto dan Tono juga sibuk mengumpulkan barang-barang yang tersisia. Malam ini adalah malam yang ke 100. Warga masih tinggal di tenda-tenda darurat. Rangga masih asyik duduk diluar tenda. Pak Karto menghampirinya dan berkata, “Kamu ngapain malam-malam begini diluar?” “Aku kangen emak, adek dan nenek kek,” jawab Rangga sambil menatap bulan yang baru separoh. Pak Karto segera memeluk cucu satu-satunya itu dan tidak bisa berkata apa-apa karena dadanya begitu sesak. Itu selalu dilakukan oleh oleh Rangga hampir tiap malam. Saat ini rangga sudah duduk di kelas dua SD. Dia semakin tambah kepintarannya. Hanya yang tidak berubah yaitu kalau tiap malam dia selalu memandang rembulan. Terkadang dia menggambar bulan yang disitu ada emak dan adeknya. Dia juga pernah mendapatkan juara satu menggambar tentang gempa bumi. “Assalamu’alaikum kek,” suara Rangga mengagetkan lamunannya. Pak Karto segera membalikkan badan, “Wa’alaikum salam. Eh, cucu kakek sudah pulang. Kok sampai isya’ pulangya?” “Iya kek, tadi di surau ngaji dulu sama teman-teman,” jawab Rangga sambil menaruh pecisnya di meja. “Makan dulu ya,” Pak Karto mencoba menawari Rangga makan, supaya Rangga tidak mengajak lagi menatap rembulan. “Iya kek, perutku sudah lapar,” jawab Rangga sambil mengelus-elus perutnya. Pak Karto pun segera mengamb ilkan makanan untuk rangga. Jantung Pak Karto masih berdebar-debar memikirkan apa nanti yang akan dikatakan Rangga. Dia terus menatap wajah cucunya itu dengan mata berkaca-kaca. “Kek,” sapa Rangga. Darah Pak Karto terasa mengalir dengan derasnya detak jantungnya semakin cepat ternyata apa yang dia khawatirkan benar-benar terjadi. Dia segera menghabus air matanya yang hampir jatuh di pipinya yang keriput. “Ya, ada apa nak?” tanya Pak Karto singkat dengan suara agak tersendat. “Kata guru ngaji tadi, emak sama adek sudah sampai di surga, karena mereka adalah orang-orang yang sholeh. Jadi aku sudah tidak bisa melihat emak lagi di bulan. Kata guru ngaji, kita tinggal mendoakan saja kek . Kek, ajari aku jadi anak yang sholeh ya kek, agar aku bisa bertemu emak dan adek di surga,” kata-kata Rangga melegakan hati Pak Karto. Pak karto segera memeluk cucunya dengan erat dan berjanji di dalam hati akan merawatnya dengan baik-baik seraya melihat foto keluarganya saat masih utuh. Air matanya semakin deras mengalir hingga foto itu tidak terlihat jelas olehnya.
sumber : http://adrias03.wordpress.com/2012/09/27/aku-ingin-menghitung-rembulan/