Jakarta — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) akan tetap melakukan pendampingan kepada guru yang telah mendapat pelatihan Kurikulum 2013. Pendampingan dilakukan agar proses kegiatan belajar mengajar di dalam kelas berjalan dengan baik dan sesuai dengan yang diharapkan. Dari pendampingan itu pula dilakukan monitoring dan evaluasi (monev) untuk mengetahui apakah perlu ada koreksi dari proses pembelajaran yang dilakukan guru kepada peserta didik.

Demikian disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (31/1). Pelatihan guru, menurutnya, merupakan modal untuk mengajar dengan pola kurikulum yang baru. Oleh karena itu, setelah dilatih, guru tidak serta merta dilepas, melainkan tetap dilakukan pendampingan. “Nanti ketika guru mulai mengajar, ada juga proses pembelajaran di sana. Kita akan lihat dan koreksi jika ada hal yang perlu dilakukan. Karena pelatihan 52 jam itu tentu tidak cukup,” ungkap Mendikbud.

Untuk mendukung pelaksanaan Kurikulum 2013 ini pula, pihaknya akan membentuk panitia yang diberi nama PIU (Project Implementation Unit). Panitia ini akan memiliki empat divisi, yaitu pelatihan, pendampingan, perbukuan, dan monev. “Mereka akan bekerja sepanjang siklus pelaksanaan tahapan Kurikulum 2013, yaitu mulai tahun ini hingga 2015,” katanya.

Rencananya, PIU akan dibentuk sebelum pelaksanaan Kurikulum 2013 pada tahun ajaran baru ini. Mendikbud menambahkan, PIU juga akan dibentuk di daerah-daerah melalui Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) yang berjumlah 32 di seluruh Indonesia. “LPMP ini akan ikut menjamin mutu pendidikan dan pelaksanaan Kurikulum 2013 di daerah-daerah tersebut,” ujar Mendikbud.

Dengan adanya pendampingan dan monev selama pelaksanaan Kurikulum 2013, Mendikbud menegaskan, pihaknya lebih condong menggunakan model penahapan ketimbang uji coba (piloting). Kata “uji coba” secara akademik, menurutnya berarti masih ada sesuatu yang belum proven. Padahal dari hasil evaluasi yang dilakukan, ada materi-materi ajar yang belum perlu diajarkan dan ada pula yang perlu ditambahkan.

“Misalnya pada buku IPS kelas 1 SD yang materi ajarnya mengasumsi siswa sudah mampu membaca, kita ubah. Di kelas 1 SD justru yang diajarkan adalah membaca dan menulis,” tandas Mendikbud. Demikian pula dengan materi ajar di tingkat SMP yang berdasarkan materi Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) sudah harus diajarkan, maka perlu ditambahkan sebagai materi ajar kepada peserta didik. “Misalnya tentang materi membaca tabel yang belum diajarkan pada pelajaran matematika SD kelas IV, maka perlu ditambahkan. Saya pikir ini tidak perlu diuji coba lagi tetapi perlu langsung diterapkan,” ujarnya.

Mantan rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ini mengatakan, pelaksanaan Kurikulum 2013 secara bertahap dilakukan mengingat luasnya jangkauan sekolah, terutama SD yang sebarannya hingga tingkat desa. Untuk itu, tahun ini baru 30 persen SD kelas I dan IV yang akan mendapatkan pembelajaran Kurikulum 2013. Berbeda dengan SD, pada tingkat SMP dan SMA sederajat, Kurikulum 2013 akan diajarkan pada seluruh sekolah. Namun, tahun ini baru siswa kelas VII dan X yang akan menerima Kurikulum 2013.

“Banyak yang terbayang bahwa ini rumit, susah dilaksanakan. Itu karena mereka sudah punya stigma rumit. Kalau dihitung lagi, SD kan bertahap hanya 30 persen, itu pun dilakukan hanya untuk kelas I dan IV. 2 kelas dari 6 kelas, berarti 30 persen. Nah, 30 persen terhadap 30 persen, hasilnya 10 persen saja dari populasi yang ada. Rasa-rasanya kalau menyelesaikan 10 persen dari energi yang kita miliki, Insya Alloh masih bisa terjangkau,” ujar Mendikbud optimis. (RA)

sumber: http://kemdiknas.go.id/kemdikbud/berita/1019